Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2014

Embracing Buton #2: Sekolah Guru Indonesia :)

Gambar
Tidak lengkap rasanya bercerita tentang Buton tanpa kenal teman-teman baru saya ini. Perkenalan saya dengan teman-teman dari   Sekolah Guru Indonesia sangat random, dan kalau dipikir sekarang mungkin agak maksa dan g tau malu, hehe. Sebelumnya saya kasih prolog dulu ya, sebenarnya apa itu Sekolah Guru Indonesia. Teman-teman semua mungkin sudah banyak kenal dengan Indonesia Mengajar yang diprakarsai Anies Baswedan. Kira-kira begitulah gampangnya menjelaskan kepada awam mengenai Sekolah Guru Indonesia atau biasa disingkat SGI. Secara kelembagaan, SGI merupakan salah satu bentuk lembaga atau mungkin program yang dibentuk oleh Dompet Dhuafa. Tujuannya (yang saya tangkap tersirat maupun tersurat dari obrolan-obrolan dengan guru maupun pihak manajemen SGI) adalah bagaimana membentuk dan mendistribusikan pendidik ke pelosok Indonesia. Ketika menyebut istilah ‘pendidik’, tentu bukan sebatas guru di kelas yang bekerja sesuai jam kerjanya, akan tetapi menyangkut aspek yang lebih kompr

Minds.

Gambar
Great minds discuss ideas Average minds discuss events Small minds discuss people - Eleanor Roosevelt *** Yaa Allah, jauhkanlah aku dari akal dan jiwa yang kerdil, juga lisan yang lalai . 

Ekspektasi Diberi

Hati-hati merasa terlalu banyak memberi, apalagi dengan ekspektasi yang diberi akan balik memberi. Tidak semua hal terkait pemberian adalah yang hal yang bisa dimengerti dan dirasa oleh indera. Tiap orang punya porsi give and take- nya masing-masing, karena dia yang memberi, akan memberi sesuai kapasitasnya memberi. Bagaimana dia bisa memberi apa yang dia tidak punya, bukan? Dan perkara kapasitas, variabelnya banyak. Lantas siapa kita, menghakimi pemberian orang karena indra yang terbatas?  *** Kalau g mau ribet sebenernya mudah, lupakan tulisan di atas, intinya: I khlas. 

Embracing Buton #1: Museum Wolio

Gambar
Wolio: Suku asli di Pulau Buton Seperti suku sunda untuk Jawa Barat, dan suku bugis untuk Sulawesi Selatan Ini jadi yang #1 bukan karena trip paling awal, tapi karena baru terjadi beberapa hari kebelakang, jadi masih inget. Trip yang lain harus agak ubek-ubek ingatan dulu. Maklum nenek-nenek (tapi imut). Jadi, tanggal 15 April kemarin saya dan beberapa teman menyengajakan diri untuk pergi ke Museum yang ada di Kota Bau-Bau, tepatnya di daerah Ba'adia. Kira-kira 10 menit naik motor dari Puskesmas Wajo (rumah dinas kami). Ketika sampai, saya langsung excited *paket manik fulki fadhila: sumringah-nyengir lebar-jejingkrakan* . Tampilan museum-nya menarik dan menjanjikan. Usut punya usut, museum ini masih dikelola oleh pribadi, yaitu keturunan keluarga Kesultanan Buton. Museum tersebut merupakan Kamali (istana Sultan) yang pada akhirnya dibuka dan menjadi tempat penyimpanan semua benda peninggalan Kesultanan. Pendanaan berasal dari keluarga dan pengunjung, walaupun be

Embracing Buton; A Prelude

Gambar
Embrace: encircle, enclose, cherish, love, to take in or include as a part of more inclusive whole, a close encircling with the arms and pressure to the chest especially as a sign of affection, encirclement, and... acceptance. Belakangan ini sering sekali adventuring sekitar Buton. Hmm, sebenernya kata adventure mgkn g tepat kali ya -,- soalnya jenis kegiatannya banyak. Kira-kira sebulan terakhir  ini saya memutuskan buat fokus nulis lagi (yang bukan sekedar curhat tentu), dan "hey, kenapa g nulis tentang Buton?". Sebenernya udh kepikiran dari lama, cuma untuk menggerakkan jari-jari di atas tuts keyboard laptop ituuuu hm gimana yaa *ahaha banyak alesan ya -,- Nah, sekarang mau dicoba pelan-pelan buat konsisten nulis tentang Buton. Kapan lagi coba saya ada di bagian tengah-timur Indonesia. The farthest place, and the longest time I've ever been away from home. Pengalaman ini, buat saya sangat berharga. Kalau gollum bilang, my precioussss *sambilmendesis *

Your voice.

Ada satu film serial judulnya I hear your voice yang saya suka. Ahaha iyep ini film korea. Tapi sebelum antipati duluan, saya kasih tau aja ya ini ceritanya tentang jengjreng: persidangan. Kalau di Indonesia mgkn ini kisah terjadi di arena Kejaksaan Agung (ya kelees) soalnya murni cerita tentang interaksi persidangan antara Jaksa Penuntut Umum yang tugasnya ya menuntut, alias membeberkan kesalahan kesalahan terdakwa dan menuntut hukuman yang seberat-beratnya terkait dengan kesalahan tersebut, dan Pengacara atau Jaksa Pembela yang tugasnya untuk membela terdakwa dengan membeberkan motif atau kondisi terkait si terdakwa yang memungkinkan hukuman bisa berkurang atau bahkan tidak ada. Dan tentu, hakim (atau juri) sebagai pemutus perkara.  Lalu dimanakah keadilan? Saya percaya bahwa adil bukanlah terdakwa dihukum seberat-beratnya, tapi dihukum sesuai porsi kesalahannya. Disitulah peran interaksi antara jaksa penuntut dan pembela. Mungkin itu juga yg bikin kenapa dunia hukum