Dolce Far Niente

Dolce Far Niente is a well known old italian expression, which means, the feeling of pleasant in doing nothing. I read it first in “Eat, Pray, Love” the novel. When the suddenly-collapse-and disoriented life of Elizabeth GIllbert made her flew around the world from US to three distinctive country, one of them is Italy. To find peace, she said, to find grip onto life, she chose the extreme way, flew away and find new place to rebuild the conscience.
(Terus aku lanjut pake bahasa indonesia aja gitu, ahaha maaf ya, lebih enak nulis dengan bahasa ibu memang)
Dolce Far Niente konteks di novelnya sebenernya mengacu pada analisis komparasi Gilbert tentang kondisi itali vs amerika. Orang amerika katanya g bisa berada dalam kondisi idle, dan justru mendapat kebahagiaan dari kondisi tekanan kerja, kerja terus sampai kondisi kelelahan dan di weekend akhirnya mereka terlalu lelah untuk bisa ngapa-ngapain dan endup dengan siklus tidur-nonton tv, yang semuanya dilakukan dalam keadaan mild coma alias impaired consciousness *ini gue banget kalo abis jaga*. ahaha. but turns out, it what makes them happy, to working their *ss of like that. makanya banyak orang pengangguran yang stress.
Okay enough about american, ini cuma ngutip phrase-nya aja. Nah, lanjut lagi, dolce far niente ini harusnya leads to l’arte d’arrangiarsi – the art of making something out of nothing. (Terus orang makin bingung sebenernya aku mau ngomong apa ahaha)
Untuk orang yang terbiasa dengan pace hidup cepat, ritme kerja dengan deadline, tekanan tinggi, dan tiba-tiba jreng~ being idle dan penuh dengan waktu kosong (bukan dalam konteks pengangguran, tapi terbebas dari kerja 8-4 atau jam jaga malam padat merayap) yang bebas mengatur waktu sendiri, its a tough adaptation. and if I may say, quite depressing at first. Even more depressing than when I was in Baubau.
To make something out of nothing~ bagaimana mengatur jadwal se PRODUKTIF mungkin, dan bisa mandiri, artinya, (karena kita tidak berada dalam kondisi kerja kantoran yang diawasi ketat dan memang kontraknya antara pekerja dan perusahaan), kontrak ini terjadi antara kita dan……kita sendiri (tentu diawasi Allah yang Maha Melihat dan malaikat yang mencatat). Ini mainnya mental, sekuat apa kita mengalahkan kita sendiri untuk bisa disiplin terhadap rencana-rencana kita sendiri.
Two side of a blade banget ya. Sebenernya kita bisa lebih produktif dan merencanakan segala program dan pengembangan diri sesuai yang kita harapkan, tapi kalau g disiplin dan manajemennya g baik, malah akan jadi sia-sia dan kita akan semakin tenggelam dengan that depressing state. Being emotionally unstable when the only one to blame is actually, yourself.
Mungkin ini yang terjadi awalnya pada full-time housewives or working at home mother, dan sejenisnya.
But the very first phase you have to work it out is, still, acceptance and gratitude. Untuk bersyukur terhadap semua kondisi yang Allah tetapkan atas kita sekarang ini, menerima dengan ikhlas, dan pada akhirnya memprosesnya menjadi karya yang tidak kalah hebat.
I’m still working on it though. Muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, sehat sebelum sakit, lapang sebelum sempit, … hidup sebelum mati.
Bismillahi tawwakaltu ‘alallah, laa haula wa laa quwwata illa billah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Embracing Buton #3: Lasalimu Pantai.

Embracing South-East Celebes: Desa Labengki

When I'm feeling blue?