“Travelling is a matter of seeking a great perhaps. Opening up to
possibilities and chances that what might happen, will guide you to better
places, journey, and maybe, your life turning point.”
|
Desa Labengki dari kejauhan; hidden paradise waiting to be treasured |
Petualangan kami kali ini penuh dengan hal random dan spontanitas. Berbekal nekat, sedikit informasi dan
searching di google, kami merencanakan perjalanan ke Labengki, sebuah Desa yang
terletak di Kabupaten Konawe Utara. Desa yang disebut-sebut sebagai Raja
Ampatnya Sulawesi Tenggara. Tentu tidak asing bukan dengan Raja Ampat, salah
satu pusat destinasi pariwisata keindahan pantai dan bawah laut yang disebut
sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia, bahkan dunia.
Perjalanan tentu
dimulai dengan mencari informasi, bagaimana caranya menuju ke Labengki. Sempat
bingung darimana harus memulai perjalanan, sampai akhirnya kami bertamu ke
Dinas Pariwisata Kabupaten Konawe Utara, dan berkesempatan untuk langsung
berbincang dengan Kepala Dinas. Beliau adalah orang yang sangat terbuka dan
bersemangat membantu kami melakukan perjalanan ke Labengki. Kami diarahkan
untuk menuju Kecamatan Lasolo untuk selanjutnya menaiki kapal dari sana. Kami menyewa
kapal yang dikemudikan oleh Pak Rasyid, seorang dari suku Bajoe, suku laut yang
sangat fenomenal. Kapal disewa dengan harga 1 juta rupiah. Walaupun awalnya
sempat kecewa harus menunda keberangkatan satu hari dikarenakan pengemudi kapal
berkata angin dan ombak sedang sangat tidak bersahabat, pada akhirnya kami
tetap bersemangat untuk melakukan perjalanan ke Labengki setelah dijanjikan
bahwa esok pagi laut akan lebih tenang. Kami pun bergerak menuju Lasolo dengan
optimis.
Setibanya di
Kecamatan Lasolo, kami langsung bertemu Bapak Raden, Bapak Camat Lasolo. Setelah
mengobrol banyak tentang Kecamatan Lasolo, potensi pariwisata Labengki yang
sedang digembar-gemborkan, dan permasalahan keseharian beliau sebagai camat
Lasolo, akhirnya kami pun bermalam di Lasolo. Pak Raden telah menjadi tuan
rumah yang sangat baik dan menyediakan tempat bermalam sebelum kami menyeberang
ke Lasolo keesokan paginya.
|
Muka udah mau nangis naik kapal kecil mau lewatin laut banda yang ombak tinggi hiks |
Pagi hari yang
dinanti sudah tiba, tapi ternyata…hari hujan! Saya jadi tegang. Kami berjanji
bertemu dengan pengemudi kapal di Pasar sekaligus Pelabuhan Lasolo. Setibanya
disana, terdapat deretan kapal-kapal yang lumayan besar. Saya pun penasaran,
kapal mana yang akan digunakan untuk berangkat ke Labengki. Ternyata… kami akan
menggunakan kapal kecil bermuatan 3-5 orang. Ditambah cuaca mendung dan hujan,
saya semakin berat melanjutkan perjalanan. Saya bertanya ke Pak Rasyid, apakah perjalanan
ini aman? Beliau dengan tegas meyakinkan saya: “InsyaAllah aman. Hujan justru bagus Bu, anginnya tidak terlalu
kencang. Kita tidak perlu takut dengan hujan. Tenang saja Bu.” Ditambah
lagi dengan dorongan dari teman seperjalanan, akhirnya kami pun bergerak menuju
Labengki.
|
Ituuuu kapalnyaaaaa~ T___T |
|
Ooohhh laaa laaaa ombaknya mantaaap |
Di perjalanan,
subhanallah, ombak sungguh aduhai. Karena perjalanan menuju Labengki harus
melewati Laut Banda, terbayang bukan bagaimana ombaknya? Apalagi sedang musim
angin timur begini. Jangan harap laut tenang-tenang lucu, hampir tidak mungkin.
Awalnya saya tegang bukan kepalang, sudah ingin menangis. Tapi lama kelamaan
saya mulai terbiasa dengan hentakan-hentakan dan goyangan di kapal. Perjalanan
pun menjadi tidak terlalu menakutkan. Apalagi sepanjang perjalanan di kapal,
mata dimanjakan dengan hamparan pegunungan yang berderet tegak di sepanjang
tepi laut. Gagah, di saat yang sama juga indah. :)
Mendekati area
Pulau Labengki, kami banyak menemukan pulau-pulau karang kecil yang cantik dan
masih perawan. Dikelilingi oleh lautan hijau jernih dangkal yang mengundang
untuk dieksplorasi, baik snorkeling maupun diving!
|
Batu karang everywhere! |
Perjalanan
memakan waktu kurang lebih 2 jam. Hingga akhirnya kami sampai ke sebuah Pulau
Besar dan disambut dengan deretan rumah panggung yang berada di tepi pantai.
Selamat datang di Pulau Labengki!
|
Merapat ke daratan! |
Sesampainya di
Labengki kami langsung berkunjung ke rumah Kepala Desa lalu berbincang-bincang
dengan beberapa orang tokoh masyarakat disana, diantaranya Ibu Harlina, seorang
guru honorer yang mengajar di SDN Labengki. Semuanya sangat terbuka dan ramah,
membantu dan memfasilitasi kami disana. Penduduk Desa Labengki berjumlah 423
jiwa, dengan mayoritasnya merupakan Suku Bajoe. Warga Desa Labengki sebenarnya
tersebar di dua buah Pulau, yaitu Pulau Labengki dan Pulau Mawang. Mayoritas
penduduk bermukim di Pulau Labengki.
|
Diliatin ibu-ibu pas lagi mendarat. Assalamualaikum ibuuu~ |
Ada yang lucu,
yaitu saat ingin ke kamar mandi untuk buang air. Di Desa Labengki jumlah kamar
mandi sangat minim, hanya 1 atau 2. Karena tidak mendapatkan kamar mandi, saya
akhirnya ikut ke salah satu rumah warga dan disuruh untuk buang air di lantai
dapur! Oalaaa~ Jadi Suku Bajoe yang bermukim di Desa Labengki masih tidak
terlalu kenal dengan budaya kloset/toilet. Saking dekat dan bersahabat dengan
laut, kebutuhan primer MCK juga dilakukan disana.
|
In front of old mercusuar. Kaya lagi di korea nggak gueh? |
Setelah
berbincang, kami diajak berjalan keliling mengelilingi pulau! Tour d’ Island
kami di sekitar Pulau Labengki sangat seru! Ditemani dengan bapak kepala desa,
Ibu Harlina, dan anak-anak Suku Bajoe yang sangat aktif dan selalu ceria, kami
mengitari Pulau Labengki. Melihat mulai dari Mercusuar cantik peninggalan lama,
laut jernih yang tentu sangat indah, pepohonan hijau yang berpadu manis dengan
laut apalagi dengan langit biru cerah, hewan-hewan laut aneh yang tidak pernah
kami lihat sebelumnya, batu-batu besar dan karang di pinggir pantai, melihat
proses pembuatan kapal katingting, dan melihat fasilitas desa Labengki juga
mengikuti aktivitas keseharian warga disana.
|
Pemukiman warga dengan latar belakang laut lepas biru jernih dan langit cerah. Beautifully breath-taking!
|
Menurut Bapak Kepala Desa, yang biasanya menjadi
destinasi wisata para turis di Desa Labengki justru berada di Pulau Mawang,
karena disana sudah terdapat fasilitas untuk kita bisa menikmati pemandangan
bawah laut yang eksotis dengan snorkelling dan menyelam, terdapat penangkaran
lobster, udang dan kimaboe atau kerang besar yang disebut-sebut sebagai
terbesar kedua di dunia. Pulau Mawang bisa dicapai dengan 15 menit perjalanan
menggunakan kapal.
Setibanya di Pulau
Mawang, kami langsung disambut oleh penjaga Pulau. Kami diberitahu bahwa semua
fasilitas snorkelling dan menyelam seperti sepatu katak, tabung oksigen, mask,
dsb dapat disediakan disini. Bahkan sebelum menyelam kita bisa dilatih dulu
agar tidak kaget di bawah laut. Selain fasilitas eksplorasi bawah laut, di
Pulau Mawang ini juga terdapat penangkaran lobster, kita dapat minta agar
disediakan hidangan lobster segar. Yummie~ Selain itu, kita juga bisa melihat
penangkaran Kima, tepat dibawah rumah penjaga pulau. Kita pun bisa menyelam dan
melihatnya secara langsung! :) Pulau Mawang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Labengki, untuk
mengitari pulau tidak sampai 15 menit. Pulau ini pun hanya ditinggali oleh sekitar 10 keluarga.
|
Pulau Mawang |
Ketika ingin melanjutkan perjalanan
pulang, bapak Kepala Desa berucap: “Ombaknya
sedang tinggi ini”. Tentu saja membuat kami semakin ketakutan, karena ada
istilah “Kalau orang Bajoe bilang ombak,
maka percaya saja”. Melihat ombak di sore hari yang memang lebih besar, kami
memutuskan untuk transit dan menginap satu malam di rumah salah seorang warga
Desa Boedingi, Desa yang terletak di sebuah pulau antara Lasolo dan Labengki.
Perjalanan ditempuh dengan menyisir pulau-pulau supaya tidak kena ombak besar.
Desa Boedingi juga dihuni oleh suku Bajoe, menariknya di pulau ini terdapat
tambang Nikel.
Kami berangkat pukul 5.30 keesokan harinya dan langsung disapa
oleh matahari pagi yang menyinari berbagai pulau kecil di sekitar Desa
Boedingi. Sesuai harapan, laut sangat tenang. Setelah menempuh perjalanan
sekitar 2 jam, kami sampai ke Pelabuhan
Lasolo.
Di tempat merapatnya kapal terdapat pangkalan ojek,
langsung saja bilang minta diantar ke jalan raya/ mau cari mobil ke Kendari.
Setibanya di pinggir jalan kami menunggu
mobil penumpang ber-plat kuning dengan tujuan Kendari. Mungkin disini memang
butuh sedikit kesabaran dalam hal menunggu angkutan umum. Cukup dengan Rp.
60.000/orang kita sudah bisa sampai ke Kendari. It’s time to go home!
Till we meet again!
|
Clap along if you feel like happiness is the truth! :) |
NB: beberapa fotonya buram pas di post hiks kenapa ya :(
pengalaman berharga ya fulkii.. keren :)
BalasHapus