Embracing Buton #4: Ketinggalan Kapal & Pelabuhan Murhum

Suasana pagi di salah satu sisi Pelabuhan Murhum


Pelabuhan Murhum ini sebenernya healing period et causa ketinggalan kapal. Hiks. 

Ini kejadian yang mungkin agak traumatis dan sangat membekas ahaha, karena ini kali kedua saya ketinggalan kendaraan. Yang pertama pas backpacking ke jogja ketinggalan kereta gara2 tanri dkk yang miss koordinasi, tapi untungnya bisa dikejar dengan nyambung kereta karena waktu keberangkatannya g jauh beda.

Nah, kalau kapal?
Sekali ketinggalan kapal telatnya bisa 6 jam. Itu termasuk cepat. Ada yang bisa berhari-hari atau bahkan mingguan, misalnya kapal ke makassar. Kalau telat ya tinggal gigit jari. 

Sebelumnya saya dn teman2 berencana ke Pulau Muna. Disana (kata koran) ada festival kebudayaan keraton se-Nusantara gitu, tampak menarik akhirnya rencana kesana beli tiket. Perjalanan ke Muna harus naik kapal super jet Cantika Express. Sehari berangkat dua kali, jam 7.30 dan jam 13.00 WITA. Biaya sekali jalan ke Pulau Muna Rp 108.000,- Karena malamnya jaga, jadi rencana dalam sehari pulang-pergi. Hanya 6 jam di Muna, tapi tetep excited!

Kapal Cantika merah mentereng macem film kartun cars :)))


Hari sebelumnya saya jaga malam, jadi baru bisa pulang ke rumah sekitar jam 6 pagi, terus masak dulu. Karena ongkosnya mahal jadi niat bawa bekal makanan dari rumah. Pokoknya pagi-pagi ini epik. Banyak yang dikerjain dan waktu mepet, ditambah lagi salah prediksi waktu. Belum lagi kompromi dengan teman2 perjalanan. *gigittembok*

Jadinya, baru berangkat jam 7.30 dari rumah dengan estimasi kapal berangkat jam 7.45. Ternyata pas masih di jalan di dalem taksi kami ditelfon teman yang berangkat dengan kapal yang sama kalau kapalnya udah berangkat. Masih g percaya, akhirnya kami tetap ke pelabuhan. Dan disana pelabuhan udah kosong melompong. Hampa, nyesek. Kaya hati saya karena ditinggalin kapal. *eaaa naon*

Lihatlah muka-muka post ketinggalan kapal di bawah ini: 




           


Our face is a very transparent neurotransmitter for feelings we have inside :p
tapi ini pas udah face acceptance sih hehe

Kalau kata personality test, toleransi saya terhadap kegagalan itu rendah. Karena saya selalu percaya batas optimal-maksimal itu selalu bisa di boost asalkan punya determinasi. Dan ketinggalan kapal itu (keliatannya kecil), tapi jadi teguran bagi saya bahwa prosesnya saya lalai. dan emang super persiapannya butuh di evaluasi. Hiks.

Akhirnya saya wandering around. Menenangkan diri ceritanya biar g sedih. Untungnya saya ini terbiasa untuk menahan diri kalau lagi mau marah. Kadang agak jadi blunder juga soalnya malah jd g bisa responsive. Tapi dalam beberapa kondisi menurut saya ini perlu. Karena kalau perasaan g ditahan itu, ujung-ujungnya pasti mau marah, atau sejelek-jeleknya adalah nyalahin orang. Terus udah gitu nyesel. Ah jadi panjang, malesin tapi g solutif.

Defense mechanism yang paling infantile menurut saya adalah proyeksi. Kaya anak-anak kan, "ade kenapa begini?" "iya bu, itu mah gara-gara si a, b, c, d". Kadang-kadang alam bawah sadar saya juga sering sekali menggiring saya menjadi proyeksi. Terutama kalau sedang merasa tersudut, ehehe.

Sambil keliling-keliling bawa kamera, saya coba cari pengalih fokus di kapal-kapal yang ada di pelabuhan Murhum. Pelabuhannya guedeeee. Jadi, kota Bau-Bau ini merupakan pusat perdagangan dan distribusi barang dari dan ke Indonesia TImur.


Kapal entah apa tapi keren banget. Muncungnya itu lohh!




Kapal Kargo
Ada banyak sekali kapal dengan berbagai bentuk yang berasal dan menuju tempat yang beda-beda. Ada yang ke Wakatobi, Makassar,  Maluku, dsb. Kapal kargo juga buanyaakk. Hal yang g pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa ada saat dimana saya ngepost tentang: FULKI alias KAPAL. Di Bandung kapaaan coba liat kapal -,-.

Ini adalah kapal yang bisa dipake kalau mau ke Maluku. Tapi harus transit dulu dan ganti kapal di satu tempat dulu katanya (lupa namanya, hehe). Di kapal ini semua harus bisa masuk, bahkan motorpun ada. Saya nekat dan masuk ke dalem kapal buat liat-liat. 

Kapal Menuju Indonesia Timur
Ruang Mesin Kapal
Tempat Tidur Penumpang kelas 2, bayangkan yang kelas 3-nya :(


Di depan pintu masuk kapal. Kecil banget -,-

Setelah selesai menghibur diri, akhirnya kami jalan ke KFC, cari AC buat ngadem sekaligus makan pagi. Sambil merencanakan plan B tentunya hehe. Dan Alhamdulillah, plan B berjalan sangat menyenangkan. A blessing in disguise part sekian sekian :)

Lesson learned: Mengendalikan perasaan. Kita diberikan kesempatan untuk merasakan dua jenis perasaan baik itu senang atau sedih untuk belajar. Diberi senang terus akan membuat kita jadi takabur dan lemah kendali, sedangkan diberi sedih terus akan membuat kita jadi minim harap dan kerdil hati. Dalam silih berganti rasa yang datang, kita diajar untuk bisa menghadapi keduanya. Sampai tau titik seimbangnya dimana. Semua rasa senang dan sedih, dinikmati saja. Kalau kata Ipang “sedih itu hanya sebentar saja”.  Senang-pun begitu. Dia yang menang adalah dia yang bisa mengendalikan dirinya sendiri. We fail first in thought, and next in action kalau kata buku psikiatri.


Our plan B is: Pulau Makassar, yippie! Please wait for Embracing Buton #5 :D 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Embracing Buton #3: Lasalimu Pantai.

Embracing South-East Celebes: Desa Labengki

When I'm feeling blue?