Siapa yang menang?
Baru balik ketemu Kepala Sekolah
adik.
Sergapan melankoli nostalgia-nya
kental.. wajarlah. Dididik 14 tahun di tempat yang sama, dengan lika-liku
kejadiannya pasti noreh bekas yang dalem. Sekolah ini bisa sangat mengayomi,
penuh kasih, penuh suka, penuh bahagia. Tapi ada juga saat-saat berada di
dalamnya keras luar biasa. I wonder apa yang dia (adik saya) rasain sekarang.
Di sekolah saya ini, kalau melakukan
pelanggaran berat, hukuman akan terjadi sistemik. Gak hanya dari guru-guru,
yang semacam hampir semua-nya tahu kasus-mu, tapi juga dari teman-teman.
Hukuman sosial kalau boleh dibilang. Dan yang lebih menggila lagi adalah, they
know (almost) everything. Guru2 maksudnya. Padahal kejadian pelanggarannya
terjadi diluar sekolah entah dimana dan g ada yang tau, tapi ENTAH KENAPA they
eventually pasti tau. Apa para murid diimplant kamera satu-satu ya? Hahaha,
ngaco kamu ful.
Saya percaya betul kalau tindakan dan keputusan2 yang diambil oleh
seseorang sekarang adalah hasil bentukan karakter, pengetahuan dan kejadian2
yang terjadi pada orang tersebut di masa lampau. Long term character building.
Makanya kenapa di P&K ada P&K show yang isinya ngubek2 masa lalu tiap
anak2 P&K. Memahami sudut pandang seseorang kenapa dia begini dan begitu
somehow membuat kita tau harus gimana menghadapinya. Jadi mengerti,
menyesuaikan diri, dan tau kalau mau melangkah bareng dia kita harus mulai
darimana dan bagaimana. Oke nuff said.
Saya ngomong tentang kerasnya
dunia sekolah karena saya pernah ngalamin. Saya pernah ngelakuin kesalahan
fatal dulu. Dipanggil kepala sekolah dan dihukum secara sistemik sama guru-guru
dan teman-teman yang tau ada masalah apa. Secara fisik barengan tapi sebenarnya
terasing. Kalau inget masa-masa itu sedih pisan, hahaha. Traumanya sampe
sekarang. Lumayan juga proses dari salah ke sadar ke melepaskan diri
berlangsung cukup lama. Setahun lebih ada kali ya. Jadi inget lagi kan kan kan.
Tapi kesalahan ini jadi salah
satu titik balik paling penting hidup saya.
Saya jadi banyak belajar. Karena
g ada teman buat berbagi –temen2 baik saya suspicious, kalau g pura2 g tau
beberapa ngambil jarak, dan saya terlalu sensitif u/ bisa g peduli, dan
lingkungan yang bisa saya ceritain justru gak baik untuk perkembangan saya
alias justru bakal menjerumuskan, saya jadi kaya anak ilang. Disini saya mulai
megap-megap nyari orangtua. Banyak membuka diri. Membuka pikiran tentang benar
yang sebenar-benarnya. Hanya karena hidayah Allah, kasih sayang-bimbingan orangtua,
teman2 yang kerasnya justru karena sayang, guru-guru yang gak berhenti2
menjaga, hingga saya akhirnya gak hanya survive, tapi bisa menjadikan itu semua
batu lompatan.
Torehannya dalem ya :)
Udah bertahun-tahun tapi
saya masih inget detailnya..
Kalau inget dulu saya suka
melongo, kok bisa ya dulu segitunya. Hahaha :))
Sungguh Allah Maha
Membolak-balikkan hati. Jangan pernah berputus-asa atas rahmatNya. Orang yang
bilangnya cinta mati aja bisa cerai kan? G ada yang tau ;) *contoh yg aneh,
hehe*
Di buku sistem pendidikan-nya
Al-Ghazaly, dibilangin bahwa sebenernya kendali kita atas hawa nafsu itu adalah
hasil pabetot-betot antara fitrah dan lingkungan. Yah bahasa di ma’rifatul
insan mah pabetot-betot antara potensi taqwa dan potensi fujur. Mana yang lebih
kuat. Karena seharusnya, pada saat
melakukan kesalahan, hati denial. Hati terpanggil bahwa ADA yang salah. Fitrah kita
merasa, menuntut hak-nya untuk kembali bersih.
Hawa nafsu penting untuk ada,
begitupun emosi dan segala hal yang bersifat ‘sangat manusia’. Ya iya, kalau
enggak darimana kita ada keinginan untuk makan, untuk mempertahankan diri kalau
diserang, untuk mempunyai keturunan, dsb. Yang jadi ngaco adalah kalau ini
tidak dikendalikan, ya tadi, fitrah-nya kalah. Di buku itu juga disebutin, ini
jadi salah satu target pendidikan. Penguatan fitrah/ kecenderungan taqwa dan pengondisian
lingkungan. Gimana caranya manusia belajar mengendalikan hawa nafsu-nya sendiri
–bukan menghilangkannya.
Kenapa saya ungkit ini, karena
ini yang terjadi pada saya dulu. Pabetot-betot begini (bahasanya kenapa
pabetot-betot sih ful =.=). Dan yang (mungkin) sedang terjadi pada adik saya
sekarang. Pelanggaran yang kami lakukan mungkin gak segimananya kaya di orang2
umum. Kalau orang2 umum bilang malah mungkin yang dulu saya lakukan mah biasa
aja. G tau lah. Saya bersyukur juga dibesarkan di lingkungan yang standar-nya
beda gini. Kondisinya kalau g begini mungkin ujung2nya saya bisa jadi orang
yang ‘mengecil-ngecilkan’ pelanggaran. Akhirnya bablas. Naudzubillahi min dzalik.
Semoga Allah menjaga kita semua,
dan khususnya untuk kalian, Etta-Bunda-Najib-Ian-Aci-Ibrahim. My beloved ones.
Komentar
Posting Komentar