Duh, klasik.

Saya kembali ke ground zero. 

Setelah sekian lama saya seringkali menolak istilah "ignorance is a bliss" karena menurut saya ignorance itu bentuk ketidakpedulian destruktif dan tidak menyelesaikan masalah. Dan balik lagi, dari dulu saya ini emang sering dimarahi orangtua karena terlalu perasa. Lebih baik sakit hati sendiri daripada bikin orang lain sakit hati. 

Odong. 
Untungnya hal yang sama g terjadi kalau konteks-nya kerjaan. 

Saya betul-betul harus berubah.
Dengan kondisi di rumah berlima dengan teman-teman yang karakternya beda-beda (bedanya kadang sampai bikin dyspnea), peduli nampaknya malah jadi destruktif. Atau bukan peduli-nya yang salah, tapi kadarnya. Mungkin juga ini terkait bagaimana saya memposisikan diri, atau diposisikan oleh teman-teman yang lain. Saya mendengar terlalu banyak hal, merasa ditarik kanan-kiri. Dan kalau menurut saya ini bukan hal yang terlalu saya harus lawan (g prinsip buat diintervensi maksudnya) yaudah saya terima-terima aja.

Tapi lama-lama cape juga ya. 

Saya cerita semuanya ke bunda-etta (udah kaya paketan kaga bisa dipisah, kaya soekarno-hatta). Bunda Etta jadinya khawatir, kenapa disini saya sedih terus. Kenapa saya terlalu merasa bertanggung jawab terhadap teman-teman saya sendiri. Padahal buat apa.

"Kakak ini kan harusnya berjuang untuk dapat ridho Allah, bukan ridho dari teman-teman."

Rasanya kaya dilempar dari atas keraton ke Pantai Kamali. 

Postingan curhat klasik ini saya akhiri dengan nasehat Etta (kangen beeehhh)
"Kalau memaknai semua sebagai proses pembinaan, gak akan ada yang namanya kesel/marah/kecewa sama manusia. Selamat menikmati pembinaan dari Allah disana, kakak. Buktikan!”

 ***

Semoga saya gak akan nulis yang ini ini lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Embracing Buton #3: Lasalimu Pantai.

Embracing South-East Celebes: Desa Labengki

When I'm feeling blue?