Embracing Buton #2: Sekolah Guru Indonesia :)
Tidak lengkap rasanya bercerita
tentang Buton tanpa kenal teman-teman baru saya ini. Perkenalan saya dengan
teman-teman dari Sekolah Guru Indonesia
sangat random, dan kalau dipikir sekarang mungkin agak maksa dan g tau malu,
hehe. Sebelumnya saya kasih prolog dulu ya, sebenarnya apa itu Sekolah Guru
Indonesia.
Teman-teman semua mungkin sudah
banyak kenal dengan Indonesia Mengajar yang diprakarsai Anies Baswedan.
Kira-kira begitulah gampangnya menjelaskan kepada awam mengenai Sekolah Guru
Indonesia atau biasa disingkat SGI. Secara kelembagaan, SGI merupakan salah
satu bentuk lembaga atau mungkin program yang dibentuk oleh Dompet Dhuafa.
Tujuannya (yang saya tangkap tersirat maupun tersurat dari obrolan-obrolan
dengan guru maupun pihak manajemen SGI) adalah bagaimana membentuk dan
mendistribusikan pendidik ke pelosok Indonesia. Ketika menyebut istilah
‘pendidik’, tentu bukan sebatas guru di kelas yang bekerja sesuai jam kerjanya,
akan tetapi menyangkut aspek yang lebih komprehensif: pembinaan manusia.
Para calon guru direkrut dari
seluruh penjuru Indonesia, lalu diseleksi, hingga akhirnya terpilih dan
terbentuk satu angkatan SGI. Mereka
kemudian dibina secara intense untuk siap menghadapi medan yang luar biasa
keras di tempat tugasnya nanti. Disiapkan bukan hanya untuk menjadi guru yang
berkualitas dalam proses mengajar formal, akan tetapi juga untuk menjadi
individu yang mandiri, tangguh, keislamannya kuat, siap mendidik, membina, dan
memiliki kemampuan leadership yang kuat. Saya suka sekali salah satu materi
pelatihan mereka yang intinya tentang bagaimana guru juga merupakan seorang
pemimpin. Bagaimanapun, guru adalah teladan kedua anak-anak setelah orangtua, keteladanan
dasarnya adalah pengaruh, yang muncul dari jiwa kepemimpinan. Hal yang sudah
langka kita temukan pada guru-guru yang mengajar di sekolah formal kini.
Saya berkenalan dengan SGI
angkatan 4, tim Pulau Buton. Total ada 5 orang, 3 perempuan dan 2 laki-laki.
Kak Indri dari Depok, Kak Lastri dari Tasik, Kak Devi dari NTB, Kak Toto, dan
Kak Ahmad alias Kak Madun. Mereka ditempatkan di 5 tempat berbeda di wilayah
terpencil Pulau Buton dan sekitarnya. Jadi memang berat, karena harus siap
tinggal di daerah yang jauh lebih terpencil dengan fasilitas serba kurang, dan
sendirian. Saya kagum.
Jadi, Kak Toto itu temannya Deddy
sejak di Bandung. Sudah sering ketemu juga alias temen satu mentoring ketika
sampai di Pulau Buton. Tapi dasar sama-sama laki-laki yang bicaranya pelit irit
kopet bakhil, atau mungkin yang dibicarain emang hal-hal yang penting aja,
jadinya g ada interaksi lebih lanjut. Sampai Kak Indri datang ke Puskesmas Wajo
untuk berobat dan saya kebetulan yang jaga Poli Umum. Saya ini kalau ketemu
pasien kadang suka jd ngobrol lama, awalnya dari nanya asal darimana karena
logatnya beda, terus sama-sama dari Pulau Jawa, jadi cerita panjang makin
panjang daaan selanjutnya. Akhirnya Kak Indri (yang emang orangnya juga JB
banget banget) bilang kalau beliau dari SGI dan temennya Kak Toto. Hari
sebelumnya Deddy udh cerita tentang Kak Toto, jadi saya sok asik sok iye sok
deket sok kenal dan sok-sok yang lain aja pas Kak Indri cerita. Akhirnya Kak
Toto dipanggil, saya juga panggil Deddy dan jadinya JB, tuker nomor hape, dan
janjian ketemu lagi kalau mereka ke Bau-Bau.
Fulki dan Kak Indri di
perahu kecil menuju Pantai Koguna
Dari hanya sekedar bertanya di
poli, berlanjut ke ngobrol basa-basi, ke SMS, janjian ketemu, kemudian
petualangan ke Lasalimu bareng, dan akhirnya sampai ke rentetan perpisahan
kepulangan mereka ber-5 bulan Maret kemarin. Sedih banget pas mereka akhirnya
menuntaskan tugas disini, ihiks.
Allah Maha Baik. Ketika sedang
masa sedih-sedihnya saya di Bau-Bau, fase disorientasi sesaat, saya
dipertemukan dengan teman-teman yang ‘menampar’ saya perlahan. Ketika aktivitas
sehari-hari dirasa sudah menjadi beban dan rumah tidak lagi jadi tempat
istirahat bahkan justru jadi sumber penat dan lelah itu sendiri, saya
dipertemukan dengan orang-orang yang bersungguh-sungguh dan tangguh untuk
berpikir & bergerak bagaimana dirinya bisa terus menebar manfaat buat
sekitar. Tidak mengeluh dengan kondisi sesulit apapun.
Bahwa apa yang saya keluhkan tidak
ada apa-apanya. Bahwa masih banyak tugas menanti. Bahwa sudah bukan saatnya
lagi untuk menjadi pemuda cengeng yang hanya bisa meratap.
Mungkin pernyataan Anies Baswedan
dahulu yang sering saya kutip “Sudah
selesaikah kamu dengan dirimu sendiri?” itu patut dikaji ulang, atau
mungkin definisi selesainya yang harus sama-sama kita luruskan. Karena
mungkin... kita tidak akan pernah selesai dengan diri kita sendiri. Masalah
tidak akan pernah berhenti datang, dan target pembinaan diri tidak pernah
selesai. Selesai lulus di satu tahap, naik kelas, muncul lagi tantangan
berikutnya. Lantas kapan mau mulai berbuat kalau selalu tidak selesai dengan
diri sendiri.
Nampaknya harus jadi seperti
gasing, sembari dia secara makro kita lihat bergerak kesana-kemari, sebenarnya
poros-nya pun bergerak, bahkan justru karena poros inti-nya yang aktif bergerak
sehingga makro bisa kesana kemari.
Dengan SGI didepan
patung naga Pantai Kamali kota Bau-Bau
Ini emang difoto mana-mana
kampanye terus ahaha. Tapi secara kelembagaan, Dompet Dhuafa dan SGI terlepas
dari PKS. Memang banyak guru yang PKS, tapi tidak semua; jadi itu bawaan
personal, bukan dari lembaga. Kalau disamakan antara SGI-DD dan PKS ntar saya
dimarahin sm mereka ehehe.
Terimakasih, SGI. :)
P.S: Nampaknya akan ada lagi petualangan part ke sekian dengan SGI angkatan selanjutnya hihi, aamin*
P.S: Nampaknya akan ada lagi petualangan part ke sekian dengan SGI angkatan selanjutnya hihi, aamin*
P.P.S: Lesson learned: Kalo rantau
dan berada di tempat asing, jadilah anak JB. Percayalah, kadang sok iye sok
deket dan g tau malu itu dibutuhkan. :p
seru sekali SGI.. :) terus bagi-bagi update ceritanya ya ki
BalasHapus