KKN#6: Emotional Rollercoaster (part 2)

Emotional rollercoaster: through the ups and the downs, we grow. – si gue.

Setelah Isya ada rapat persiapan besok. Satu hal dari kepanitiaan di desa, orang2nya bukan kaya mahasiswa yang dari jauh2 hari udah rapat dan memastikan segalanya minimal H-3/H-1. Orang2 desa kerjanya termasuk yang “kumaha engke” dan hari H pisan. Adaptasi. Kita kebat-kebit dengan “engke kumaha”, akhirnya rapat lagi dan bagi2 tugas. Apalagi besok agendanya padet, lomba adzan, gerak jalan, tagoni, tumpeng, lomba anak2 (kerupuk, karung, kelereng, dsb), dan malam hiburan (makrab, perpisahan KKN, pembagian hadiah).

My mood turned down di rapat ini. Banyaklah kejadiannya. G usah diceritain disini detailnya. Salah satu faktornya juga mungkin saya yang terlalu perasa. Untungnya kayaknya g ada yang tau kalau deep-deep-deep inside saya bergejolak. Tetep jadi sekretaris yang anggun *wae* *ditimpuk rame-rame*.  

Ketua rapat yang loncat-loncat mikirnya,  kurang sistematis dan main ninggalin topik padahal itu belum selesai bikin saya pusing. Dan agak kesal. Karena ini semacam jadi kebiasaan. Haffuh. Akhirnya tadi saya tegur. Ditanggapi yang lain pun “naon deui ful?” akhirnya saya jelasin agenda-agenda di notulensi saya yang keskip dan kegantung.

Perbedaan cara. Buat saya, hal yang harus dikoreksi dan jadi perhatian bersama kalau bahasa-nya ‘diperhalus’ beberapa malah jadi g kena.  Ada yang berpendapat mungkin saya terlalu to the point. Tapi bagi saya, inilah pentingnya penekanan –jadi inget poundra, dia pasti bilang: ini teteh pisan, penekanan. Sesuatu yang terlalu implisit kadang kurang makna. Atau bahkan cenderung dilupakan. Setuju, dalam mengoreksi tetep harus pake cara yang baik. Tapi daripada g kena dan ngawang-ngawang, g ada perubahan pula, mending jelas-to the point.

Masalahnya, saya mengkritisi TANPA tendensi ke siapapun, semua kena. Tapi yang lain menyorotnya kritik saya mengacu ke orang secara spesifik. Saya bilang: sepakati peraturan yuk! Besok kita pasti hectic banget, jadi g boleh ada yang MT (makan temen). Susah sama-sama, seneng sama-sama, jangan ada yang gabut. Akhirnya saya tulis di papan, no.1 rule: no MT, dan ada yang hapus dengan alasan: mencari kata yang lebih positif. Diganti dengan: we are a team. Jengjeng. Bener kata-nya. Tapi g kena ke sasaran, IMHO. Ini kaya g penting, pdhl menurut saya ini signifikan.

Ini adaptasi tim namanya. Belajar lagi kamu, ful.
Saya juga g gubris lagi dan yasudahlah.

Banyak kejadiannya dan beneran mood saya jatoh banget. Tapi tetep jangan keliatan. Untung terbiasa. Saya orang yang menangkap emosi dari peserta2 rapat, atau orang2 di sekeliling, dan sedikit banyak terpengaruh. Ini juga yang jelek dari saya. Terlalu perasa. Hafuh. Dan perasaan insecure pun pelan tapi pasti menghampiri.

Saya sadar sesuatu: di posisi begini, with no one to talk to, emosi rollercoaster (fluktuatif), saya cenderung bikin dinding. Buat orang-orang g bisa masuk. Bukan secara fisik ya, karena pada kenyataannya saya masih bisa ketawa dan bareng sama mereka. Tapi saya bikin dinding, membatasi orang lain masuk terlalu jauh. Bahkan agar jangan masuk sama sekali. Di saat yang sama, jiwa saya dialog. Saling menenangkan antara akal dan qalbu. Saya jadi untouchable, dan cenderung pergi.

Saya mengiyakan ajakan Andina dan Abul untuk nganterin mereka ke Pak Babay –sekdes- untuk ngurusin lomba. Saya cuma butuh waktu untuk menjauh. Sebentar g masalah. Di jalan, jiwa terus dialog. Menenangkan, melapangkan, menekan bibit-bibit yang g sehat dan g boleh tumbuh. G boleh sama sekali terpupuk.

Saya g terbiasa cerita ke siapapun kalau lagi begini. Ini makin sedih g sih? *asa mongnaon*. Wahai diri, kadang soliter-mu membuat aku bangga, di saat yang sama aku risau dan khawatir. Huoooh, enough mellow. Akhirnya tadi pulang dari Pak Babay, saya maksain diri untuk: tidur. Walau g tidur –semacam pseudotidur- saya sedikit bisa menormalkan kembali mood. Tidur juga salah satu bentuk saya: ‘lari’ dan isyarat secara tidak langsung: saya menolak didekati. Membuat dinding. Mendinginkan hati dan pikiran.

Untungnya adalah, proses saya berdamai dengan diri, sejauh ini g pernah berlangsung terlalu lama. Pernah yang agak parah sampe lebih dari seminggu, tp saya anggap ini proses. Agar jiwa saya kuat, terlatih. 

Sekarang membaik, tapi tetap masih butuh waktu.
Allahu Rabbi, yang Maha Melapangkan,
Lapangkanlah untukku dadaku, agar siap menerima apapun ketetapan-Mu. 
Astagfirullah.

Curcol OOT: Saya g suka dan risih sama laki2 yang suka tiba2 posesif dan manja. Plis. Ini bikin mood saya tambah berantakan. You're not my father, my husband, nor my brothers. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Embracing Buton #3: Lasalimu Pantai.

Embracing South-East Celebes: Desa Labengki

When I'm feeling blue?