Kunci rumah: Kendali


"Dalam raga ada hati, dan dalam hati ada suatu ruang tak bernama. Di tanganmu tergenggam kunci pintunya. Ruang itu mungil, isinya lbh halus dr serat sutera. Berkata2 dgn bahasa yg hanya dipahami oleh nurani. Satu garis jgn sampai kau tepis: membuka diri tidak sama dengan menyerahkannya. Di ruang kecil itu, ada teras untuk tamu. Hanya engkau yg berhak ada di dalam inti hatimu sendiri."

***

Itu quote dari buku Filosofi Kopi.
Salah satu bagian yang paling saya suka.

Buat saya, kesel sama orang adalah destruktif. Kepala jadi pusing. Bener2 pusing patologis, bukan pusing pas lagi banyak pikiran. Emang g cocok buat kesel2/marah sama orang. Kayaknya gara2 efek pengalihan energi, dari energi kesel meledak-ledak yg dicoba diredam. Makanya saya bukan tipe yg kalau marah/kesel meledak-ledak ke orangnya, tp lbh banyak diem. Berdamai. Sama diri sendiri.

Kenapa harus berdamai? Karena buat saya marah itu gak penting. Kesel itu g bawa manfaat. G jadi pahala (dalam konteks hawa nafsu ya). Udah energi yang kebuang banyak, pusing pula, banyak gak manfaatnya-lah pokoknya. Kalau saya negur orang atau ngingetin, bener bener sungguh g main perasaan sampe kesel/marah karena personalnya. Beneran. Cuman karena pembawaan saya aja kali ya yang tegas *atau mgkn galak :(* jadi dianggapnya kaya yg marah ke orangnya. Padahal enggak. Sama sekali. :’(

Berdamai dengan diri sendiri bisa otomatis? Enggak. Bayi juga g langsung jalan-kan, merangkak dulu. Butuh waktu. Proses. Mulai dari mencekoki otak sendiri bahwa ini g ada gunanya mending dilupain dan diikhlaskan, mencari hikmah yg mungkin diambil (melihat sisi positifnya maksudnya), naikkin mood yang pecah belah dan perlu disusun lagi, coba memahami posisi orang tersebut dan alasan dia begini-begitu, memahamkan diri bahwa g semua hal bisa sesuai keinginan, g semua orang mengerti kondisi yg terjadi, coba cari solusi, dsb.

Waktu yang dibutuhkan bisa berdasarkan sejauh apa kesel/marah kita, atau se-resisten apa kita terhadap apa yg terjadi. Biasanya kalau yg resisten, dimana akhirnya ngegantung, g jadi solusi, dan berulang, lama kelamaan waktu yg dibutuhkan untuk recovery bisa sangat sebentar, bahkan akhirnya kalau super resisten bisa jadi g peduli. Gak peduli. Ngeri ya.

 “Kalau memaknai semua sebagai proses pembinaan, gak akan ada yang namanya kesel/marah/kecewa sama manusia”. – Etta.

Kadang yg paling bikin tambah empet adalah kalau kita kesel sama orang yang insensitif. Energi kita menemui pelampiasan: udara. *menguap maksudnya, tanpa jejak* Hahahaha. Bukan pelampiasan juga sih. Tapi g ketemu solusi. G ketemu titik yg sama2 enak untuk akhirnya ada perbaikan kedepannya. Kesel-nya jadi kerak. Yang akhirnya jadi g enak, tp sepihak, dan berusaha ditelen sendiri. Da mau diperbaiki apa yg mau diperbaiki kalau pihak satunya lagi g tau apa yg harus diperbaiki. Antara pengen ngasih tau, tapi takut, bahwa mungkin bukan pihak satunya yg insensitif tapi KITA yang terlalu sensitif. Bingung kan? Emang. Same here same here.

Akhirnya pertanyaan klise saya keluar, salah satunya: “Menurutmu dari hal yg tadi, ada yang perlu diperbaiki g?”. Dengan beragam bahasa dan cara-nya, yang intinya nanya sebenernya dia sadar apa enggak. Karena banyak orang yang tau kalau kita kesel tapi salah mengartikan alasan-nya. Sekedar sadar/tau ada orang kesel mah gampang. Dan yang lebih nyebelin-nya dari saya adalah, kalau g kepepet atau ada kepentingan lain, saya g mau –dan cenderung males- ngejelasin kenapa2nya sampai orang itu sendiri yg nyadar. Yang kayaknya nunggu orang nyadar ya percuma juga. Bukan percuma. Tapi kelamaan. Udah lewat masa recovery.  

Jadi solusi paling mending adalah: berdamai dengan diri sendiri. Karena kita g mungkin kontrol respon orang; dalam sekejap membuat dia begini-begitu sesuai yg kita mau, g mungkin. Yang berada dalam area pengaturan kita cuma satu: diri sendiri. Respon kita. Orang begini-begitu, sesuai keinginan atau enggak, mau sekarang mau nanti pasti bakal kita temui. Fokus ke area yang jadi amanah kita. Yang bakal dimintai pertanggungjawaban sama Allah. Keputusan diri. Respon diri. Memproses diri biar kesel/marah yang timbul g jadi destruksi, justru malah jadi sarana belajar.

HAFUH.

Intinya saya ini ngomong apa ya?
Gak tau, hahahaha :))

Pokoknya nanti2 kalau ada siapapun orang atau tindakan atau ucapan atau pemikiran orang yang mencoba ngetuk masuk ke rumah kita, jangan lupa bilang “tolong tunggu di teras dulu ya”. Inget, yang pegang kunci rumah itu kita. KITA yang tentuin, siapa yang boleh masuk siapa yang enggak, dan masuk-nya sejauh apa. Menjadi diri dengan keputusan yg independen, tapi berkomitmen.

KITA YANG PEGANG KUNCI RUMAHNYA.
“Hanya engkau yg berhak ada di dalam inti hatimu sendiri.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Embracing Buton #3: Lasalimu Pantai.

Embracing South-East Celebes: Desa Labengki

When I'm feeling blue?